PERAN AGAMA TERHADAP PEMBENTUKAN MORAL; KONDISI MORALITAS MASYARAKAT INDONESIA DAN TANTANGANNYA BAGI AGAMA
Oleh : Risda Fatimah
A. PENDAHULUAN
Manusia yang terlahir pada alam yang serba teratur, menimbulkan suatu kecenderumgan bagi manusia untuk mencari kekuatan yang lebih kuat diluar dirinya. Semua tingkatan manusia dari primitif sampai modern, mempunyai kecenderungan yang sama. Menyadari akan keterbatasannya sebagai manusia dan melihat keteraturan yang ada di alam, pastilah ada yang mengaturnya. Dari situlah manusia mencari sososk tersebut, salah satu jalannya dengan beragama.
Banyak tokoh yang telah mengemukakan teorinya tentang kecenderungan beragama bagi manusia. Peter L. Berger menyatakan bahwa agama adalah kebutuhan dasar manusia karena agama merupakan alat untuk membela diri terhadap segala kekacauan yang mengancam hidup manusia.
Sedangkan Haviland menyatakan bahwa manusia dengan keterbatasan kemampuannya menggunakan kekuatan supranatural untuk menutupi keterbatasannya tersebut. Seprimitif apapun suatu bangsa pasti memiliki agama dan magi merupakan pendapat yang dikemukakan oleh Malinowski. Durkheim menyatakan bahwa agama berfungsi membantu orang untuk berhubungan dengan sesamanya bukan pada Tuhannya. Ritual-ritual religius membantu orang untuk mengembangkan rasa sepaguyuban.[1]
Kehidupan yang dilalui manusia sejak lahir hingga mati tentu dilengkapi dengan tantangan-tantangan yang harus dihadapi oleh tiap manusia. Dunia yang terus mengalami kemajuan yang demikian pesat, disatu pihak dapat memperbaiki taraf hidup manusia, tetapi dilain pihak menguji manusia untuk menjalani hidup dengan wajar.[2] Dari sinilah, manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan dunia yang diciptakan dan berkembang dengan demikian pesatnya.
Manusia dihadapkan pada persoalan-persoalan atau tantangan-tantangan yang begitu berat. Persoalan mengnai kecenderungannya untuk beragama menimbulkan permasalahan dalam mencari agama yang begitu banyak pilihannya. Belum selesai manusia mendapatkan jawaban yang tepat dari kecenderungan beragamanya itu, manusia masih diharuskan menyesuaikan diri dengan dunia yang didiaminya. Wujud penyesuaian dirinya dengan mematuhu aturan-aturan atau tatana moral yang ada. Sehingga, agama dan moral menjadi dua hal yang menjadi masalah dalam satu tubuh, yaitu manusia. Masalah yang menjadi tantangan berat bagi manusia untuk diatasi.
Permasalahan agama dan moral terjadi pada tiap diri manusia tanpa memandang suku atau etnis apapun. Indonesia memandang agama sebagai suatu hal yang penting, terlihat dari sila pertama dalam Pancasila yaitu “Ketuhanan yang Maha Esa”. Hal itu menunjukkan bahwa agama merupakan suatu unsur penting bagi masyarakat Indonesia. Masalah agama dan moral yang telah dikemukakan sebelumnya, tentu menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia. Indonesia dengan pluralisme agama yang dimilikinya, memiliki tantangan besar yaitu moralitas yang berpengaruh pada perkembangan bangsa Indonesia.
Moral menjadi hal yang penting untuk diperhatikan, karena pengaruh moral pada diri manusia. Pengaruh yang selanjutnya mempengaruhi manusia dalam bertindak. Agama sebagai suatu kecenderungan bagi manusia harusnya mempunyai hubungan dengan moral yang terbentuk dalam diri manusia. Indonesia dengan masyarakat yang mayoritas beragama dihadapkan pada tantangan-tantangan yang sedang berkembang berkaitan dengan moralitas bangsa.
Memandang begitu dekatnya agama dan moral, karya tulis ini disusun dengan masalah-masalah yang ingin dikaji lebih dalam, sebagai berikut : Apakah moral atau moralitas itu ?; Apa sajakah teori yang telah muncul tentang moral ?; Bagaimanakah peran agama dalam pembentukan moral ?; Bagaimanakah kondisi moralitas masyarakat Indonesia dan apa tantangannya bagi agama ?. Dari masalah-masalah yang akan dikaji tersebut, diharapkan akan muncul suatu rumusan yang menjadi masukan bagi agama dalam hubungannya dengan moralitas bangsa.
B. METODE PENELITIAN
Tulisan ini menggunakan metode kajian pustaka. Dengan menekankan kajiannya pada buku serta sumber tertulis lain yang membahas tentang agama dan moral. Selanjutnya pada sumber-sumber yang membahas tentang kondisi moralitas bangsa Indonesia. Serta sumber-sumber tertulis lain yang membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam karya tulis ini.
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian Moralitas
Moral menjadi suatu hal yang penting dan sering dicermati dalam masyarakat. Setiap orang pasti memperhatikan moralitas orang lain. Selanjutnya, ketika ada yang tidak sesuai dengan tatanan yang ada akan mucul reaksi yang berbeda. Melihat begitu pentingnya moral bagi masyarakat, perlulah kita mnetahui pengertian moral atau moralitas itu.
Istilah moral dan moralitas berasal dari kata bahasa Latin “mos” (tunggal), “mores” (jamak), dan kata sifat “moralis”. Bentuk jamak “mores” berarti kebiasaan, kelakuan, kesusilaan. Kata sifat “moralis” berarti susila.[3] Menurut Poespoprodjo dalam bukunya Filsafat Moral, moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk.[4] Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa moral adalah hal-hal yang mendorong manusia dalam bertingkah laku.
Menurut Emile Durkheim, moral adalah sesuatu hal yang memiliki peranan penting. Moral memegang wewenang atau kendali yang dijalankan oleh kesadaran kolektif. Moralitas juga tidak dapat hidup tanpa masyarakat walau bagaimanapun bentuknya. Moralitas tidak akan berubah kecuali dalam hubungannya dengan kondisi sosial disekitarnya. Jadi moralitas tidak bersumber dari individu, melainkan dari masyarakat dan merupakan gejala masyarakat.[5]
Henri Bergson membagi moralitas menjadi dua, yakni moralitas natural dan moralitas utuh. Moralitas natural bersifat sekadar sosial, sedangkan moralitas utuh bersifat manusiawi. Menurutnya, moralitas yang mendasari masyarakat masih belum tertuju pada kemanusiaan seluruhnya. Karena jurang pemisah antara satu bangsa atau negara dengan kemanusiaan sangatlah besar, dari yang terbatas hingga yang tidak terbatas, sehingga moralitas belum sepenuhnya tertuju pada kemanusiaan yang berbeda-beda ini.[6]
Moral menjadi hal yang mendasar bagi tingkah laku dan kehidupan manusia dalam masyarakat. Manusia yang beragamapun tidak lepas dari tatanan moral yang berkembang dalam masyarakat. Sehingga agama mempunyai hubungan dengan moral yang menjadi suatu hal yang tak pernah lepas dari kehidupan manusia dalam bermasyarakat.
2. Teori-teori tentang Moral
Begitu banyak pendapat tentang moral yang telah muncul. Berikut beberapa pendapat dari banyak pendapat yang ada tentang moral.
a. Immanuel Kant
Menurut Kant, moralitas adalah sesuatu yang menyangkut hal baik dan buruk, tetapi bukan sembarang baik dan buruk, melainkan baik pada dirinya sendiri, yang baik tanpa pembatasan sama sekali. Yang baik tanpa pembatasan sama sekali disini, menurut Kant, hanya satu yaitu KEHENDAK BAIK. Sejauh seseorang mempunyai kehendak baik, ia baik, tanpa pembatasan. Kehendak baik tersebut selalu baik dan tidak tergantung pada sesuatu diluarnya.[7]
Selanjutnya, Kant menyatakan bahwa kehendak baik itu adalah kehendak yang mau melakukan kewajiban. Ada tiga kemungkinan orang memenuhi kewajibannya. Pertama, ia dapat memenuhinya karena hal tersebut menguntungkan. Kedua, ia memenuhinya karena ia merasa langsung terdorong dalam hatinya. Ketiga, ia mebantu kewajibannya demi kewajibannya itu, jadi karena semata-mata untuk memenuhi apa yang menjadi kewajibannya. Menurut Kant, hanya kehendak dengan lasan yang ketiga inilah kehendak yang betul-betul moral. Alasan pertama adalah masalah kebijaksanaan dan alasan kedua adalah masalah konstitusi emosional. Pemenuhan kewajiban karena dua alasan tadi, oleh Kant, disebut LEGALITAS. Karena kedua alasan tadi timbul dari eksternal diri seseorang dan bukan dari batinnya. Sehingga melakukan kewajiban karena mau memenuhi kewajiban itulah kehendak yang baik tanpa pembatasan, yang kemudian disebut Kant sebagai MORALITAS. Sehingga, untuk mengukur moralitas seseorang, tidak bisa dilihat dari hasil perbuatan, karena hasil perbuatan yang baik tidak membuktikan adanya kehendak yang baik.[8]
Kant dalam bukunya, kritik der Praktischen Vernunft, juga mengakui adanya kemutlakan nilai-nilai moral. Pandangannya ini dibangun dengan dasar teorinya tentang rasio praktis yang menunjukkan adanya imperatif (keharusan) kategoris. Imperatif kategoris disini adalah keharusan yang tidak bersyarat atau mutlak. Dasar lain pandangannya adalah ketiga postulatnya, yaitu kebebasan kehendak, imoralitas jiwa, dan adanya Allah.[9]
b. Friedrich Nietzsche
Nietzsche memberikan banyak kritik-kritik pada ilai-nilai moral semasa dia hidup. Saat dimana filsafat barat sedang diwarnai dengan pandangan Kant tentang moral dan idealisme Fichte, Schelling, dan Hegel. Tetapi Nietzsche menghasilkan pemikiran yang dengan keras menyerang arus pokok tersebut.
Menurut pandangan-pandangan Kant maupun Hegel merupakan suatu usaha keteraturan dunia rasional uang menghendaki moralitas sosial sebagai batu loncatan untuk perkembangan seni, agama, dan filsafat. Kant dan Hegel, menurut Nietzsche, menyajikan filsafat yang bertujuan untuk membenarkan moralitas. Nietzsche juga menyerang moralitas yang berdasarkan pada nilai-nilai dan sangsi-sangsi Ilahi. Ia mengkritik bahwa aliran ini tidak hanya gagal mempertanyakan premis dasarnya, tetapi juga menyerahkan filsafatnya pada agama. Dalam hal ini, Nietzsche lebih dekat dengan kelompok Aufklarung, yang berpaling dari pendasaran-pendasaran religius ke pendasaran-pendasaran rasional. Sehingga, ia menunjukkan reaksinya atas pandangan-pandangan ini dengan menyelidiki nilai-nilai moral dengan bertolak dari nilai-nilai seni.[10]
Nietzsche membedakan dua macam moralitas, yaitu moralitas budak dan moralitas tuan. Moralitas budak adalah moralitas orang kecil dan lemah, moralitas orang yang tidak mampu untuk bangkit dan menentukan hidupnya sendiri dan oleh karena itu selanjutnya menimbulkan sentimen atau rasa iri terhadap mereka yang mampu dan yang kuat. Moral budak adalah moralitas kawanan (Herdenmoral) atau sikap orang yang selalu mengikuti kelompok dan tidak berani bertindak sendiri, yang perlu dipuji dan takut ditegur. Sedangkan moralitas tuan ditempatkan Nietzsche untuk melawan moralitas budak tadi. Dalam moralitas tuan, ‘baik’ adalah sama dengan ‘luhur’ dan ‘buruk’ sama dengan ‘hina’. Yang dianggap hina adalah si penakut, si cengeng, si sempit, si pencuri untung, si pembohong, dan orang-orang lain dengan sifat-sifat yang menunjukkan kelemahan. Moralitas tuan membenarkan kekuatan dan kekuasaan cirinya adalah orang seluruhnya membenarkan dirinya sendiri. Jadi, moralitas tuan adalah ungkapan kehendak untuk berkuasa.[11]
c. David Hume
Hume yang memiliki sikap empiristik, menolak segala sistem etika yang tidak berdasarkan fakta-fakta dan pengamatan-pengamatan empiris. Etika, menurut Hume, harus dicari dalam diri kita sendiri. Masalah baik dan buruk tidak dianggap objektif, melainkan hal perasaan kita. Pendekatan empiristik Hume ini membawa implikasi langsung bahwa tidak ada dasar untuk bicara tentang “keharusan moral”, yang dapat kita alami selalu faktual, berupa data dan tidak pernah suatu keharusan. Hume dengan tegas menolak kemungkinan sebuah etika normatif.[12]
Etika, bagi Hume, adalah hal perasaan moral. Sesuatu itu akan kita nilai baik bila memberikan nikmat atau bermanfaat. Jadi, penilaian moral mengungkapkan perasaan setuju atau tidak setuju. Yang menarik dari pendapat Hume adalah kita tidak hanya terdorong untuk mengusahakan apa yang berguna bagi kita untuk merasakan nikmat, tetapi juga membuat orang lain merasa nikmat serta melindunginya dari perasaan sakit. Disini menunjukkan ciri hedonisme Hume yang khas, yaitu hedonismenya tidak bersifat egois yang tentu berbeda dengan hedonisme klasik.[13]
d. Lawrence Kohlberg
Kohlberg menyatakan bahwa definisi formal tentang moralitas hanya berlaku bila kita mengakui bahwa terdapat tingkat-tingkat perkembangan dari pertimbangan moral yang semakin mendekati bentuk-bentuk formal-ideal moralitas. Kohlberg menyatakan bahwa hanya tahap-tahap pemikiran yang lebih tinggi memiliki ciri-ciri formal pertimbangan yang khas moral. Pandangan Kohlberg ini mengikuti pendapat filsuf formalis sejak Kant hingga Hare. Bagi Kohlberg, suatu prinsip moral merupakan suatu cara memilih yang universal, suatu aturan memilih yang dikenakan pada semua orang dalam segala situasi.[14]
Dari hasil penelitian kohlberg pada moralitas pribadi, dia mebagi perkembangan moral menjadi tiga tingkat, yaitu pra-adat, adat, dan pasca-adat. Masing-masing tingkat terdiri dari dua tahap sehingga perkembangan moral terdiri dari enam tahap. Ciri moralitas pra-adat adalah bahwa orang menyesuaikan diri dengan aturan-aturan tentang baik dan jahat yang dilengkapi dengan akibat fisik yang berupa hukuman. Pada tingkat adat, orang mulai memperhitungkan aspek kelompok atau masyarakat. Sedangkan orang yang telah mencapai tingkat pasca-adat, sudah melepaskan diri dari keterikatan primodial dengan kelompok atau masyarakatnya. Pada tahap ini nilai moral universal sudah diperhatikan. Pada tahap kelima, hukum masih dipegang, tetapi disadari bahwa hukum itu relatif. Selanjutnya berkembang pada tahap keenam yaitu kemandirian yang berpegang pada kekuatan suara hati pribadi. Baik buruknya motivasi tindakan diukur dari moral universal yang dipilih sendiri.[15]
3. Peran Agama dalam Pembentukan Moral
Moral yang bersumber dari hati nurani sebagai kesadaran langsung manusia bahwa dia berada dibawah kewajiban mutlak untuk selalu memilih yang baik dan benar dan menolak kebalikannya. Segala hal yang menjadi kewajiban moral tetap membebani kita entah mau atau tidak. Tetapi berasal dari manakah kewajiban mutlak itu. Ada dua jawaban dari pertanyaan itu, tetapi jawaban itu tidak dapat dipertahankan. Pertama, kewajiban mutlak itu tidak dapat berasal dari sebuah realitas diluar manusia. Karena tuntutan apapun dari luar justru selalu masih dipertanyakan oleh hati nurani. Kedua, kewajiban itu ditetapkan oleh diri kita sendiri, seperti yang ditegaskan oleh Kant dengan otonomi moral atau perasaan moral. Tetapi Kant tidak bermaksud bahwa perasaan moral itu mutlak, karena tidak mungkin orang mewajibkan diri sendiri dengan mutlak. Jadi, dari mana datangnya kewajiban moral itu tidak dapat ditentukan dengan jelas.[16]
Agama merupakan suatu hal yang menjadi kebutuhan yang mendasar bagi tiap individu. Seperti telah dijelaskan diawal tulisan ini, agama berfungsi sebagai pelindung dari rasa takut. Agama juga digunakan manusia sebagai legalisasi dari perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.
Manusia yang memiliki dua fungsi yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, tentu akan mengalami proses-proses interaksi sosial. Dalam kehidupan sosial tentu ada aturan-aturan atau tatanan moral yang mengatur tiap individu dalam bermasyarakat. Oleh karena itu, agama dan moral mempunyai hubungan yang erat.
Agama ynag memiliki kepercayaan-keprcayaan atau ritus-ritus tertentu yang telah diperintahkan dalam ajarannya mempunyai hubungan dengan nilai-nilai moral yang dianut. Nilai-nilai moral yang ada dalam masyarakat seringkali berasal dari suatu kepercayaan agama. Seperti contohnya, dalan agama Hindu yang mengsakarlkan lembu. Keskralan dari lembu tersebut menimbulkan keharusan untuk tidak memakan dagingnya yang menjadi nilai-nilai moral yang bersumber dari fakta tersebut. Kenyataan bahwa keanekaragaman adat kebiasaan pada kelompok apapun bisa timbul dari konsepsi kelompok tersebut pada hal-hal yang sakaral atau perintah-perintah yang ada dalam agama.[17]
Peraturan-peraturan dan larangan-larangan yang ada dalam kitab suci juga suatu hal yang menjadi pedoman moral bagi penganut agama tersebut. Seperti dalam agama Islam dengan al-Quran sebagai pedomannya, al-Quran menjadi buku pedoman etika atau moral, terutama etika pergaulan antar umat beragama. Perintah-perintah dan larangan-larangan yang ada dalam al-Quran telah menjadi tatanan moral dalam masyarakat yang selalu mereka taati.[18]
Asal dari kewajiban moral yang tidak dapat ditentukan dengan jelas, memberikan tantangan bagi agama. Agama dengan aturan-aturan yang jelas, harusnya mampu memberikan pengaruh pada pembentukan moral. Dengan aturan-aturan yang telah dijalani sejak dini, diharapkan aturan itu menimbulkan suatu kebiasaan yang selanjutnya menjadi kewajiban moral yang ada dalam diri manusia.
4. Kondisi Moralitas Masyarakat Indonesia dan Tantangannya bagi Agama
Moral menjadi hal yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu pula kehidupan bermasyarakat di Indonesia, moral menjadi hal yang memiliki perhatian besar. Apalagi Indonesia yang terkenal dengan budaya ketimurannya yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan tata krama.
Kondisi moralitas bangsa Indonesia saat ini tengah mengalami krisis. Mulai dari tingkatan masyarakat yang paling rendah sampai yang tertinggi. Birokrasi dan lembaga kepartaian di Indonesia seperti sedang mengalami sakit dengan obat yang over dosis, sehingga seolah menjadi parasit yang memakan dirinya sendiri. Gejala penurunan moralitas masyarakat Indonesia terlihat dari perilaku KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) didalam tubuh reformasi yang cenderung saling menghancurkan diantara kekuatan reformasi itu sendiri. Perilaku KKN ini menyebabkan krisis nasional multi wajah yang telah terjadi beberapa tahun belum dapat diatasi, bahkan meluas pada krisis moralitas dan kepercayaan sosial.[19]
Secara sosial (pendidikan), polotik, dan ekonomi, hidup warga masyarakat memang tumbuh kearah kemodernan, namun terjebak dalam hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan. Manipulasi kebaikan dan kebenaran dianggap wajar, bahkan keharusan untuk bertahan hidup. Kekuasaan dipahami sebagai sesuatu yang sakral milik pejabat dan dilakukan secara serba rahasia. Aturan-aturan yang ada seakan sudah tidak diperdulikan lagi. Tidak jarang seseorang melakukan tindakan baik dan buruk, benar dan salah secara bergantian, berdasarkan keyakinan “Tuhan tidak melipatgandakan dosa, tapi pahala”. Secara filosofis, hal itu berkaitan dengan pandangan bahwa kebaikan dan kebenaran merupakan hasil sebuah proses dialog dan kritik. Sehingga perubahan tren moralitas itu menjadi hal yang lumrah terjadi.[20]
Indonesia dengan mayoritas penduduk beragama Islam, mengalami sesuatu hal yang aneh dalam kehidupan beragama. Kehidupan keagamaan yang kita saksikan dimasyarakat tampak cukup semarak. Hal itu terlihat dari banyak munculnya majlis taklim dimana-mana dengan jamaah yang tidak sedikit jumlahnya. Media cetak memberitakan secara besar-besaran kegiatan keagamaan itu, media elektronik seperti TV dan radio mengemas berbagai acara keagamaan dari pagi hingga malam hari. Jumlah orang yang ingin pergi haji juga terus meningkat walaupun krisis ekonomi menimpa. Hal ini menunjukkan kegiatan keagamaan semakin meriah dan semarak. Situasi ini telah ada sejak tahun 1980-an hingga awal abad ke-21 ini. Tetapi kegiatan keagamaan yang semarak ini berjalan seiring dengan semakin meningkatnya kemaksiatan dan kerusakan yang diperbuat ileh tangan –tangan manusia. Dari luar memang tampak kehidupan keagamaan yang semarak, tetapi bila dilihat lebih jauh, ada kekosongan ruhani dalam masyarakat kita. Agama hanya sebagai formalitas belaka yang tanpa makna.[21]
Melihat fenomena tersebut, sepertinya ada yang salah dari keberagamaan masyarakat Indonesia. Dari fenomena itu, mungkin saja dalam mengamalkan nilai-nilai agama hanya agar disebut santri, sebangai orang Islam dan untuk mendapatkan pengakuan atau dukungan. Bukan karena memahami isi dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Jadi, beragama hanya mengambil kulitnya saja dan bukan isinya.[22]
Dalam teori Kohlberg mengenai tingkatan perkembangan moralitas – seperti telah dibahas pada sub-bab terdahulu - ,yaitu pra-adat, adat, dan pasca-adat. Tidak banyak orang dewasa yang mencapai tingkat pasca-adat. Mereka yang telah mencapai tingkat pasca-adatpun hanya sebatas pengertian dan tidak menjamin bahwa mereka menjalankannya. Jadi mayoritas masyarakat yang sudah dewasa masih mencapai tingkat adat. Orientasi tindakan mereka ada pada pandangan umum atau hukum umum. Sehingga motivasi melakukan perbuatan yang benar bukan karena menyadari nilaipositif atau negatif dari suatu perbuatan, tetapi lebih disebabkan oleh rasa takut pada masyarakat. Hal ini berdampak pada mentalitas yang muncul dalam masyarakat, yaitu kurangnya inisiatif dan cenderung bersifat egois, individualistis, serat suka memikirkan dirinya sendiri.[23]
Jalan keluar dari masalah ini, seperti yang diajukan Kohrad Lorenz, adalah dengan mengembangkan tanggung jawab moral dengan dukungan kekuatan rasionalitas manusia, selain itu, jalam keluar yang kedua adalah olahraga, seni, ilmu pengetahuan, pengobatan, serta humor yang dapat mengurangi sikap agresif manusia yang bersifat negatif. Selain itu, Lorenz juga menekankan penerimaan diri akan adanya nafsu dalam diri manusia. Dengan menerima keadaan ini, kita lalu dapat mengarahkannya. Penolakan atau pengingkaran malah dapat berbahaya.[24]
Dalam masalah ini, agama ditantang untuk merumuskan dan mengkonkretkan makna unuversalitasnya. Caranya adalah dengan menterjemahkan ajaran-ajaran dalam etika universal yang rasional. Yang dimaksud dari etika universal ini adalah etika yang mengandung tiga prinsip, yakni prinsip sikap baik, prinsip hormat terhadap pesona, dan prinsip keadilan.[25]
Khusus bagi agama islam, untuk mengatasi moralitas masyarakat yang seperti ini dengan keberagamaan yang miskin makna,perlu adanya bimbingan tentang cara berislam yang sesungguhnya. Cara berislam yang sesungguhnya adal;ah dengan beragama yang disertai penghayatan dan pencarian makna atau nilai-nilai yang terkandung didalam ajaran Islam. Dengan cara beragama yang demikian, diharapkan muncul kedamaian, keteduhan, keadilan, dan saling menghargai. Selain itu, perlu mengembangkan cara beragama yang sejalan dengan tuntutan perkembangan zaman, yaitu dengan memberikan bobot yang seimbang antara kehidupan ruhaniah (spiritual) dan kehidupan materialnya.[26]
D. PENUTUP
Moral adalah hal yang mendorong manusia dalam bertingkah laku. Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk.[27] Moral adalah hal yang tidak pernah lepas dari kehidupan manusia yang bermasyarakat.
Begitu banyak teori yang berbicara tentang moral. Kebanyakan dari teori tersebut menyatakan bahwa moralitas itu bersumber dari dalam diri manusia atau dari hati nurani. Seperti yang dikemukakan oleh Kant, bahwa inti dari perbuatan manusia ada pada batinnya atau dia sebut dengan perasaan moral.
Agama sebagai suatu kecenderungan bagi manusia mempunyai peran penting dalam pembentukan moral. Terlepas dari pendapat bahwa moral itu bersumber dari dalam dirinya tanpa adanya pengaruh atau tekanan dari luar dirinya, agama dengan ajaran-ajarannya tetap memiliki peran penting. Dengan aturan-aturan yang mengatur hidup manusia yang telah diajarkan sejak kecil, diharapkan mampu membentuk moral manusia menjadi moralitas yang baik.
Indonesia tengah mengalami krisi moralitas yang ditandai dengan perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan norma. Walaupun mereka yang melanggar tatanan norma yang ada, dalam kehidupan beragama, mereka tetap menjalankan kewajibannya. Tetapi semua itu hanya keberagamaan yang tanpa makna, karena hanya memahami agama dari kulitnya saja atau hanya sebatas rutinitas. Bukan memahami arti atau makna yang terkandung dalam rutinitas tersebut.
Bertolak dari fenomena tersebut, agama ditantang untuk mengkonkretkan makna universalitasnya dengan menterjemahkan ajaran-ajaran dalam etika universal yang rasional. Dalam agama Islam, perlua adanya cara berislam yang benar, yaitu dengan beragama yang disertai penghayatan yang benar dan beragama yang sejalan dengan tuntutan perkembangan zaman. Cara beragama yang sejalan dengan tuntutan perkembangan zaman adalah dengan menyeimbangkan antara aspek spiritual dam material.
E. DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Studi Agama:Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1996.
Andang, Al. Agama yang Berpijak dan Berpihak. Yogyakarta : Kanisius. 1998.
Khozin. Refleksi Keberagamaan. Malang : UMM Press. 2004.
Kohlberg, Lawrence. Tahap-tahap Perkembangan Moral. terj. John de Santo dan Agus Cremers. Yogyakarta : Kanisius. 1995.
Muhni, Djuretna A. Imam. Moral dan Religi menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson. Yogyakarta : Kanisius. 1994.
Mulkhan, Abdul Munir. Moral Politik Santri:Agama dan Pembelaan Kaum Tertindas. Jakarta : Erlangga. 2003.
Nottingham, Elizabeth K.. Agama dan Masyarakat. Terj. Abdul Muis Naharong. Jakarta : RajaGrafindo Persada. 1996.
Poespoprodjo. Filsafat Moral. Bandung : Pustaka Grafika. 1999.
Sardjuningsih. “Agama dan Masyarakat”. Makalah disajikan dalam mata kuliah Sosiologi Agama. STAIN Kediri. Kediri. 19 Mei 2011.
Setiardja, A. Gunawan. Dialektika Hukum dan Moral. Yogyakarta : Kanisius. 1990.
Sunardi, St.. Nietzsche. Yogyakarta : LkiS. 1996.
Suseno, Frans Magnis-. 13 Tokoh Etika. Yogyakarta : Kanisius. 1997.
---------. Menalar Tuhan. Yogyakrta : Kanisius. 2006.
[1] Sardjuningsih, “Agama dan Masyarakat”. Makalah disajikan dalam mata kuliah Sosiologi Agama, STAIN Kediri, Kediri, 19 Mei 2011.
[2] Djuretna A. Imam Muhni, Moral dan Religi menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson, (Yogyakarta : Kanisius, 1994), 17.
[14] Lawrence Kohlberg, Tahap-tahap Perkembangan Moral, terj. John de Santo dan Agus Cremers, (Yogyakarta : Kanisius, 1995), 159-165.
[17] Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, terj. Abdul Muis Naharong, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1996), 19-20.
[18] M. Amin Abdullah, Studi Agama:Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), 69.
[19] Abdul Munir Mulkhan, Moral Politik Santri:Agama dan Pembelaan Kaum Tertindas, (Jakarta : Erlangga, 2003), 24.
0 komentar:
Posting Komentar