Buscar

Páginas


 
ISLAM DALAM BINGKAI ADAT ;
POLA PERILAKU MASYARAKAT ISLAM JAWA
Oleh :
RISDA FATIMAH 

A.    PENDAHULUAN
Jawa yang memiliki latar belakang budaya yang kuat. Budaya yang telah berkembang beratus-ratus tahun dengan latar belakang agama Hindu dan Buddha. Oleh karena itu, ketika Islam datang di tanah Jawa, tidak mudah untuk mengislamkan Jawa. Budaya yang telah tertanam kuat dalam diri masyarakat Jawa tidak dapat begitu saja dihapuskan dan diganti dengan tradisi atau syariat Islam. Akibatnya, tradisi Islam lah yang harus menyesuaikan dengan budaya Jawa.
Budaya atau adat Jawa yang telah tertanam kuat dan memiliki karakteristik yang berbeda dengan syariat agama merupakan suatu hal yang sulit untuk dirubah secara cepat. Adat Jawa yang lahir dari pengaruh kepercayaan masyarakat Jawa yang sebelumnya yaitu agama Hindu dan Buddha, serta kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Sehingga, tidak heran jika adat tersebut banyak yang berbau mistis. Sangat berbeda dengan tradisi atau syariat Islam yang sangat bersih dari ritual-ritual mistis yang tentu bertentangan dengan hukum Islam. Oleh karena itu, para penyebar agama Islam saat itu, menyadari akan kuatnya budaya itu, mencoba menyesuaikan penyebaran Islam dengan budaya Jwa tanpa melanggar syariat Islam. Karena untuk merubah suatu tradisi yang telah tertanam kuat memerlukan waktu yang lama dan bertahap.

Tujuan para penyebar  agama Islam di Jawa, untuk menyebarluaskan agama Islam di Jawa dengan cara yang sesuai dengan masyarakat Jawa ternyata berdampak pada perilaku beragama masyarakat Jawa hingga saat ini. Beberapa media yang digunakan oleh mereka untuk mendakwahkan agama Islam yang pada saat itu dianggap sebagai syariat Islam yang benar. Yang tanpa disadari menimbulkan kepercayaan-kepercayaan yang cenderung salah. Contohnya, tradisi slametan yang sebenarnya tidak ada hukumnya dalam al-Quran atau al_Hadits. Tradisi itu diciptakan oleh penyebar agama Islam saat itu, untuk menghilangkan tradisi masyarakat Jawa yang melakukan persembahan-persembahan pada saat-saat tertentu. Tradisi tersebut tidak dapat serta merta dihapuskan, maka perlu diadakan modifikasi pada tradisi tersebut dengan menambahkan doa-doa ala Islam dan diluruskan tujuannnya. Tetapi, tanpa disadari tradisi itu menimbulkan kepercayaan jika tidak melakukan slametan jika mempunyai suatu hajat akan menimbulkan celaka bagi mereka. Kepercayaan itu tentu tidak lagi menuju pada Allah tetapi percaya pada seremonial slametan tersebut.
Oleh karena itu, agaknya menarik mengkaji fenomena tersebut. Bagaimana konsep-konsep dasar agama Islam yang sesungguhnya. Bagaimanakah idiom adat, sehingga sangat sulit untuk dimasuki suatu agama. Bagaimanakah sejarah Islam Jawa. Bagaimanakah perilaku masyarakat Islam Jawa saat ini seiring dengan berkembangnya jaman. Apakah adat tetap berpengaruh besar dalam kehidupan masyarakat.
B.     AGAMA ISLAM YANG IDEAL
Agama Islam yang merupakan agama samawi tentu berbeda dengan agama tradisional yang lebih banyak menekankan hal-hal yang bersifat duniawi dan hal-hal yang berupa mitos dan magis. Islam menekankan pada pemahaman terhadap pengetahuan keagamaan. Seorang muslim haruslah mendapatkan pengetahuan keagamaan yang benar terlebih dahulu agar ia dapat mengerti terhadap setiap perbuatannnya. Dengan pengetahuan tersebut manusia dapat berperilaku sesuai persyaratan-persyaratan tertentu. Dengan pengetahuan itu pula, manusia dapat menginterpretasikan maksud dari persyarakat atau ketentuan tersebut.
Dalam Islam, pengetahuan dikenal dengan istilah Arab ilm atau ilmu. Pengetahuan tesebut dibagi menjadi dua, yaitu ilmu masail dan ilmu fadzail. Ilmu masail berisi syariah yang secara umum membahas pada berbagai perbuatan yang wajib, diperbolehkan (halal), dianjurkan (sunnah), ataupun hal-hal yang dilarang (haram). Setelah memiliki pengetahuan ini, seorang muslim diharapkan dapat mematuhi ketentuan-ketentuan yang ada. Sedangkan ilmu fadzail adalah pengetahuan tentang segala kebaikan (fadilah), pahala sebagai ganjaran dari kewajiban yang telah dilaksanakan, serta perbuatan-perbuatan lain yang dianjurkan. Dengan mengetahui pengetahuan ini, diharapkan seorang muslim senantiasa melakukan ibadah dan meningkatkan amal mereka. Karena Islam memandang bahwa ilmu dan amal sebagai suatu variable yang saling berkaitan. Dengan memiliki ilmu, manusia dapat membedakan yang benar dan yang salah. Dengan memiliki ilmu itu pula, seorang muslim diharapkan melakukan perbuatan yang baik atau amal. Dalam hal ini, ilmu tidak akan memiliki nilai praktis tanpa adanya amal.[1]
Sebelum lebih jauh membahas Islam yang ideal, perlu diketahui mengenai arti dan asal istilah Islam. Menurut Erni Budiwarti dalam bukunya Islam Sasak : Wetu Telu versus Waktu Lima :
Istilah Islam merupakan sebuah bentuk kata benda dari kata benda arab lain, ‘salama’, artinya kedamaian, keikhlasan, penyerahan diri dan kepatuhan. Dalam pengertian relijius, Islam berarti penyerahan diri kepada kehendak Allah – Tuhan yang satu dan satu-satunya – dan kepatuhan pada hukumNya. Sebagai sebuah agama yang sangat ketat dengan monoteismenya, Islam tidak memberikan toleransi pada praktek, adat, yang diwarnai dengan animisme dan antropomorpisme.[2]
Dari pengertian diatas, menunjukkan  bahwa agama Islam merupakan agama yang sangat kuat dalam mempertahankan kepercayaannnya terhadap Tuhan. Sehingga hah-hal lain yang tidak sesuai dengan kepercayaan Islam tidak dapat ditolelir oleh agama Islam.
Salah satu doktrin sentral agama Islam adalah mengenai Tuhan. Konsep Tuhan disini ditinjau dari Diri-Nya sendiri dan sifat-sifatNya. Tuhan merupakan dzat yang absolut, azali, dan Maha Baik. Allah bukanlah wujud yang murni melainkan lebih daripada sekedar wujud, sehingga tidak ada deskripsi yang menyifati-Nya. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa Tuhan adalah dzat yang sifatnya azali dan esensi-Nya yang absolut. Itulah alasan syahadat Islam menyatakan, La ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah), yang didalamnya berisi peniadaan atau negasi dan pengecualian atau afirmasi. Dengan syahadat yang semacam itulah menyatakan kesempurnaan Allah.[3]
Islam ditegakkan diatas lima pilar, yaitu syahadah, shalat, puasa, zakat, dan haji. Pernyataan (syahadah) adalah komitmen dan sumpah verbal bahwa Allah itu satu dan Muhammad adalah utusanNya.[4] Mempersaksikan bahwa Allah adalah Tuhan yang satu-satunya berarti menolak segala bentuk ketuhanan lain selain Allah. Mempersaksikan Muhammad sebagai utusan Allah, menunjukkan pengakuan bahwa Muhammad adalah pribadi yang istimewa yang telah dipilih Allah untuk menyebarkan pesanNya, yaitu Islam. Dengan pengakuan itu pula, umat muslim harus meyakini bahwa Muhammad adalah rahmatan lil alamin, sebab ia diutus ke dunia untuk memberantas kebodohan manusia dan memberikan pengetahuan yang benar yaitu iman Islam.[5]
Shalat merupakan suatu bentuk penyembahan pada Allah. Dalam shalat, manusia baik laki-laki maupun perempuan memanjatkan doa kepada Tuhan atas nama seluruh makhluk dan dirinya sebagai khalifah di muka bumi. Menurut ahli-ahli iman dan ihsan, aktivitas shalat adalah media penting bagi perjalanan naik menuju singgasana Tuhan. Sesuai dengan salah satu riwayat hadits, “Shalat adalah salah satu perjalanan pendakian spiritual orang yang beriman (ash-shalat miraj al-mu’min).” dengan shalat pula dimungkinkan adanya integrasi keberadaan seorang hamba Allah dalam keadaan pengabdian seutuhnya kepada Tuhan.[6]
Berpuasa (shaum) adalah sepenuhnya berpantang dari makanan, minuman, merokok, menelan ludahnya sendiri, dan berhubungan seks dari fajar hingga matahari terbenam selama bulan Ramadan.[7] Lebih dari itu, ibadah puasa juga mensyaratkan untuk menjaga pikiran dan lisannya dari segala pemikiran dan perkataan yang jahat dan lebih mengasihi kaum dhuafa.[8] Dengan berpuasa diharapkan timbulnya sikap peduli dan toleransi pada kaum dhuafa.
Zakat merupakan pembayaran tahunan persentase dari kekayaan seorang muslim yang dibagikan untuk orang miskin atau orang lain yang berhak menerima. Membayar zakat merupakan sebuah tindakan ibadah dan investasi spiritual. Zakat tidak hanya mensucikan kekayaan seseorang tetapi juga membersihkan hati dari rasa mementingkan diri sendiri dan ketamakan. Dengan zakat pula dapat menghilangkan kesenjangan ekonimi yang tajam antara kelompok-kelompok yang berbeda.[9]
Haji adalah ziarah paling utama dalam Islam dan dilaksanakan di Ka’bah, atau Rumah Tuhan, di Mekkah.[10] Ibadah haji di Mekkah mempersatukan orang-orang Islam dari hampir seluruh dunia. Tujuan utama dari ibadah haji adalah mengenang ritual suci pengorbanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan anaknya Ismail, mereka adalah orang pertama yang pergi berziarah ke rumah Allah di bumi yaitu Ka’bah. Selain itu, ibadah ini juga dimaksud untuk mengingat kerumunan besar pada Hari Pembalasan (akhirat) ketika semua orang sama derajatnya dihadapan Allah.[11]
Selain kelima pilar tersebut, diperkuat lagi dengan enam pokok keyakinan yaitu rukun iman. Rukun iman ini meliputi kepercayaan kepada keesaan Allah (tauhid), kepercayaan kepada malaikat, kepercayaan kepada Nabi dan Rasul Tuhan, kepercayaan kepada kitab suci, kepercayaan kepada hari pembalasan (akhirat), dan kepercayaan pada Qadla dan Qadar. Jadi, norma-norma Islam benar-benar menarik pembatas dan pembedaan yang tegas antara pencipta dan makhlukNya, antara baik dan buruk, surga dan neraka, kehidupan duniawi dan akhirat.[12]
C.    IDIOM ADAT
Keanekaragaman budaya Indonesia menunjukkan arti penting adat sebagai perwujudan budaya lokal. Adat memiliki makna yang luas dan memiliki penafsiran dan manifestasi yang berbeda di tiap daerah. Adat diterapkan pada berbagai konteks-konteks sosial yang berbeda untuk alasan dan tujuan yang beraneka ragam. Menurut Alisyahbana, adat merasuki hampir segala aspek kehidupan komunitas yang mengakibatkan seluruh perilaku individu sangat dibatasi dan dikodifikasikan. Alisyahbana berpandangan bahwa komunitas yang mengkonstriksikan adat sebagai sendi utama organisasi sosial memiliki karakter-karakter yang spesifik. Adat menjalankan sebuah peran yang sangat mendasar dalam suatu komunitas yang berskala kecil yang terikat dengan pertalian keluarga yang erat. Alisyahbana juga memberi ciri komunitas adat sebagai kelompok yang mempunyai aktivitas perekonomian relatif homogen dan terbatas. Dengan asumsi bahwa beberapa bagian adat juga sejalan dengan nilai-nilai moral, eskatologi, dan soteriologi, maka praktek adat bisa disetarakan dengan agama tradisional.[13]
D.    SEJARAH ISLAM JAWA
Sejarah awal Islam Jawa masih belum jelas. Penelitian kesarjanaan mengakui adanya problem yang cukup berpengaruh berkaitan dengan sejarah persebaran Islam di Asia Tenggara, karena kurangnya sumber-sumber yang dapat dipercaya yang mencatat periode kontak dan konversi tersebut. Memang sudah ada kalangan muslim di Jawa pada akhir abad ke-14. Data tradisional menyatakan bahwa jatuhnya kerajaan Majapahit, kerajaan Hindu-Jawa besar terakhir, adalah tahun 1478, sumber-sumber Cina menunjukkan bahwa komunitas-komunitas muslim sudah ada di kawasan pantai utara pada dekade-dekade awal abad ke-15. Karena itulah, tidak dapat diambil kesimpulan yang pasti mengenai data kedatangan Islam di Jawa.
Sejarah Islam Jawa tidak sekadar soal konversi saja, tetapi juga mengenai penerapan Islam sebagai agama kerajaan, sehingga dapat meruntuhkan banyak kebudayaan Hindu – Buddha yang ada. Kerajaan-kerajaan Islam pertama di Jawa berada di pantai utara dan timur, dimana terdapat komunitas-komunitas muslim asing, tetapi sejarah kerajaan-kerajaan ini hanya sedikit diketahui. Kemunculan  kerajaan-kerajaan Islam di Jawa Tengah didominasi oleh monarki-monarki “sekuler” yang memotret diri mereka sebagai wali yang ditandai oleh serangkaian perang panjang dengan kerajaan pantai Demak dan Giri. Meski sedikit bukti yang membuktikan, dapat diduga bahwa perang tersebut bukan sekadar konflik yang sederhana. Tetapi konflik pada tingkat keagamaan yang diilhami Arab dan formulasi kerajaan Islam Indo-Persia. Dapat dimungkinkan pula bahwa konflik tersebut adalah antara varian mistik dan hukum Islam Jawa. Disinilah peran kerajaan dan para pemimpin kerajaan sangat besar dalam formulasi budaya Islam di Jawa sehingga tidak dapat lepas dari budaya Jawa dahulu sebelum Islam masuk ke tanah Jawa.[14]
E.     MASYARAKAT ISLAM JAWA
Budaya Jawa banyak memberikan pengaruh pada berkembangnya agama Islam di Jawa. Islam tumbuh dengan garis-garis budaya yang sangat signifikan. Peran Islam yang saat itu menjadi agama kerajaan telah banyak menghasilkan ritual-ritual yang sebenarnya tidak ada hukumnya tetapi tetap lestari sampai sekarang. Meskipun perkembangan pengetahuan telah mencapai kondisi yang baik tetapi ritual-ritual tersebut tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat.
Walaupun telah banyak muslim dengan tingkat intelektualitas baik, baik dari bidang keagamaan atau disiplin ilmu lain, tradisi-tradisi keagamaan Jawa tetap tidak dapat disingkirkan. Karena telah sangat kuatnya tradisi itu melekat pada diri masyarakat Jawa, sehingga mitos-mitos yang berkembangpun tetap dipercayai. Bahkan, seorang yang tidak taat pada agamapun tidak dapat melepaskan diri dari tradisi tersebut dan tetap melaksanakannya.[15]
Suatu contoh kasus nyata ketika ada seseorang meninggal yang merupakan keponakan seorang pemimpin kultus religio-politik yang sangat anti-santri di Jwa Timur. Walaupun para anggota kelompok itu berusaha memisahkan diri dari Islam, tetapi mereka tetap gelish ketika modin kampung tidak bersedia untuk memimpin acara pemakamannya. Mereka khawatir jika jiwa anak itu akan gentayangan jika tidak dilakukan prosesi pemakaman sesuai adat kebiasaan masyarakat.[16]
Kasus tersebut menunjukkan begitu kuatnya tradisi Jawa melekat pada masyarakat Jawa. Terlepas dari kualitas pendidikan mereka, mitos-mitos yang berkembang mengiringi tradisi tersebut tetap mempengaruhi mereka. Dan tidak dapat dinafikan bahwa masih banyak masyarakat Jawa, baik yang berpendidikan tinggi atau tidak yang masih mempercayai dan berpegang teguh pada tradisi-trdisi Islam Jawa.
F.     PENUTUP
Islam menegakkan ajarannya pada lima pilar, yaitu syahadah, shalat, puasa, zakat, dan haji. Enam pokok kepercayaan turut pula menyertainya, yaitu kepercayaan kepada keesaan Allah,kepercayaan kepada malaikat, kepercayaan kepada Nabi dan Rasul, kepercayaan kepada kitab suci, kepercayaan kepada hari pembalasan, dan kepercayaan kepada Qadla dan Qadar.[17]
Adat memegang peranan penting dalam suatu tatanan masyarakat. Adat tidak dapat dipahami dalam tataran kebiasaan semata, tetapi lebih dari itu, adat dapat diterapkan pada berbagai konteks sosial yang berbeda untuk alasan dan tujuan yang beraneka ragam. Sehingga tidak mengherankan jika adat, khususnya adat Jawa, dapat memberikan pengaruh yang besar pada agama Islam yang masuk di Jawa.
Islam yang masuk di Jawa banyak diliputi ketidakjelasan karena kurangnya bukti-bukti fisik yang mengungkap mengenai sejarah Islam yang masuk di Jawa. Islam yang tumbuh di daerah yang memiliki sejarah budaya yang kuat, menimbulkan konflik. Tidak hanya sekedar konflik yang sederhana tetapi konflik yang rumit antara varian mistik dan hukum Islam, dank arena kuatnya budaya Jawa maka Islamlah yang menyesuaikan dengan budaya.
Budaya yang telah berkembang tersebut telah banyak menyumbang tradisi-tradisi yang Islami tetapi tidak lepas dari unsur mistik. Dan tidak sedikit yang tetap memegang teguh kepercayaan tersebut. Bagi yang tidak mempercayaipun dibuat tidak berdaya ketika dihadapkan pada kondisi nyata yang memaksanya untuk percaya. Terlepas dari asal mula tradisi-tradisi atau budaya tersebut, masih tetap perlu untuk mempertahankan tradisi tersebut. Meskipun tersimpan banyak hal yang tidak rasional tetapi tradisi-tradisi tersebut adalah suatu produk budaya yang harus tetap dilestarikan sebagai suatu bentuk identitas bangsa. Hanya saja, perlu adanya pengetahuan yang lebih agar tradisi-tradisi tersebut tidak menimbulkan kepercayaan-kepercayaan yang salah dan tidak sesuai dengan hukum Islam sendiri.




DAFTAR PUSTAKA


Budiwarti, Erni. Islam Sasak:Wetu Telu versus Waktu Lima. Yogyakarta : LKiS. 2000. 

Nasr, Seyyed Hossein. ISLAM: Agama, Sejarah, dan Peradaban. Surabaya : Risalah Gusti. 2003.

Woodward, Mark R..  ISLAM JAWA:Kesalehan Normatif versus Kebatinan. Yogyakarta : LKiS. 2006.


[1] Erni Budiwarti, Islam Sasak:Wetu Telu versus Waktu Lima,(Yogyakarta:LKiS,2000),33-35.
[2] Ibid,35.
[3] Seyyed Hossein Nasr, ISLAM: Agama, Sejarah, dan Peradaban,(Surabaya:Risalah Gusti,2003),69-72.
[4] Erni Budiwarti, Islam Sasak:Wetu Telu versus Waktu Lima,(Yogyakarta:LKiS,2000),36.
[5] Erni Budiwarti, Islam Sasak:Wetu Telu versus Waktu Lima,(Yogyakarta:LKiS,2000),36-37.
[6] Seyyed Hossein Nasr, ISLAM: Agama, Sejarah, dan Peradaban,(Surabaya:Risalah Gusti,2003),107-108.
[7] Erni Budiwarti, Islam Sasak:Wetu Telu versus Waktu Lima,(Yogyakarta:LKiS,2000),38.
[8] Seyyed Hossein Nasr, ISLAM: Agama, Sejarah, dan Peradaban,(Surabaya:Risalah Gusti,2003),110.
[9] Erni Budiwarti, Islam Sasak:Wetu Telu versus Waktu Lima,(Yogyakarta:LKiS,2000),38-39.
[10] Seyyed Hossein Nasr, ISLAM: Agama, Sejarah, dan Peradaban,(Surabaya:Risalah Gusti,2003),111.
[11] Erni Budiwarti, Islam Sasak:Wetu Telu versus Waktu Lima,(Yogyakarta:LKiS,2000),39-40.
[12] Ibid,40-46.
[13] Erni Budiwarti, Islam Sasak:Wetu Telu versus Waktu Lima,(Yogyakarta:LKiS,2000),47-50.
[14] Mark R. Woodward, ISLAM JAWA:Kesalehan Normatif versus Kebatinan, (Yogyakarta:LKiS, 2006),83-93.
[15] Mark R. Woodward, ISLAM JAWA:Kesalehan Normatif versus Kebatinan,(Yogyakarta:LKiS, 2006),225-240.
[16] Ibid,240.
[17] Erni Budiwarti, Islam Sasak:Wetu Telu versus Waktu Lima,(Yogyakarta:LKiS,2000),40-47.

0 komentar:

Posting Komentar